Jumat, 17 Februari 2012

Adik mau pentas

Beberapa minggu lalu, adik mengeluh karena dia harus latihan tari Yamko Rambe Yamko bersama beberapa teman sekelas. Menurutnya, menari adalah kegiatan anak SD dan identik dengan kegiatan cewek. Saat itu Bunda memberikan penjelasan bahwa semua kegiatan boleh dilakukan baik oleh cewek atau cowok, hanya cowok tidak boleh memakai baju dan aksesoris cewek.

Hari ini, adik merasa sedih ketika Bunda tidak mengijinkan ikut gladi bersih di Kepri Mall karena baru saja sembuh dari demam.
Padahal adik bisa memakai alasan sakit untuk menghindari pentas tari, tapi itu tidak dilakukannya.

Akhirnya Bunda pun tidak melewatkan kesempatan untuk melihat gladi resik. Brein pun terlihat senang bertemu teman-teman. Semoga aura energi positif membuat Brein sehat selalu.

Kamis, 16 Februari 2012

Berburu Tiket Murah

Merantau jauh hingga ke pulau Batam yang hanya berjarak 1 jam perjalanan ferry ke Singapore, membuat kami harus pandai mencari celah agar mendapat tiket penerbangan murah ke pulau Jawa.

Apalagi kalau menginginkan perjalanan ketika peak season seperti Lebaran (baik Idhul Fitri ataupun Idhul Adha), Natal dan Tahun Baru. Terlebih untuk yang sudah memiliki anak yang sudah bersekolah, dimana kesempatan berlibur bertambah ketika Libur Sekolah.

Meskipun maskapai mengatakan bahwa mereka tidak menaikkan harga, toh tetap saja harganya selangit.
Ketika anak-anak masih kecil dan belum bersekolah dasar, kami biasa pergi di low season sekitar Maret hingga April.

Namun, setelah satu persatu mulai mengenyam pendidikan dasar, nggak mungkin lagi melakukan hal yang sama. Akhirnya masa berburu tiket murah dimulai.

Apalagi dengan bantuan internet, semua informasi sudah bisa didapat dengan mudah. Karena selalunya, Travel Agent sepertinya enggan menjual tiket jauh-jauh hari yang harganya murah.
Seperti misalnya, tiket perjalanan Batam-Surabaya yang akan kulakukan 1 bulan lagi (Mar 2012), tiket dengan harga IDR452.700, sudah kubeli sejak Nov tahun lalu.

Memang sih, tiket murah seperti ini tidak bisa direfund dan reroute. Tapi kalau memang sudah pasti berangkat, rasanya seperti mendapat durian runtuh karena dalam flight number yang sama meskipun tiketnya lebih murah, toh layanan yang diterima tidak ada bedanya dengan yang beli tiket seharga 2 kali lipat.

#barusan kulihat di websitenya, harganya sudah IDR810.000, nah lo#

Jumat, 25 Maret 2011

Cobaan Terberat

‘Bunda, kalau kita susah, kita harus tetap ingat Allah ya..’, tanya abang Hagi pada suatu hari.
‘Iya, nak. Tapi tidak hanya saat susah, saat senang juga.’
‘Abang, pernah mendapat cobaan yang abang rasa sangat berat..’, katanya dengan nada sedih.
‘Oh, ya…?’
Wah, sungguh aku tidak dapat memperkirakan cobaan berat apa yang dimaksud Hagi.
‘Cobaan apa itu, nak?’
‘Itu, waktu PSP abang hilang. Abang kan sedih, tapi abang tidak marah dan tetap sholat juga berdoa. Dan meskipun kita belum beli lagi, tapi Bunda dapat rejeki dari kost-kostan dan orang sewa ruko.’

Minggu, 06 Februari 2011

Seni Berbagi

Suatu siang, dalam suatu perjalanan berangkat sekolah, abang Hagi bercerita kalau dia sudah mendermakan uang sepuluh ribu kepada orang yang datang meminta sumbangan ke rumah kami.
Seingatku waktu itu, Hagi tidak punya uang kecuali selembar lima puluh ribuan yang didapat dari ayahnya beberapa minggu sebelumnya.

‘Kok, abang punya uang? Dari mana?’
‘Kan abang pernah dikasih uang oleh ayah’
‘Iya, tapi kan lima puluh ribuan, kok bisa punya sepuluh ribuan’

Dengan berbelit-belit abang Hagi menjawab cecaran pertanyaan dari bundanya. Akhirnya keluarlah pengakuan,’Sebenarnya yang abang kasih tuh uang lima puluh ribuan, cuma abang takut Bunda marah.’

‘Abang, Bunda senang abang Hagi mau berbagi. Tapi Bunda lebih senang abang memberikan kepada yang membutuhkan secara langsung.’
‘Oh, seperti Bunda beli susu bubuk untuk cucunya ibu tukang cuci di rumah kita itu ya.’
‘Iya, nak, seperti itu. Lain kali jangan diulang ya..’

Dan ketika pada kesempatan lain, saat ibu tukang cuci datang malam-malam menemuiku dan ingin meminjam uang karena ingin memberi uang saku kepada keponakannya yang akan pulang kampung. Abang Hagi bertanya:
‘Ibu itu kenapa Bunda? Tadi pagi dia tanya jam berapa Bunda pulang dari Singapore.’

‘Oh, ibu itu mau pinjam uang untuk keponakannya.’

‘Kasih ajalah Bunda, tidak usah pakai pinjam segala.’

‘Abang, ibu itu mau meminjam karena ingin memberi sesuatu untuk saudaranya, lagipun kita tidak tahu pasti apakah keponakannya perlu dibantu atau tidak.’

Selasa, 28 Desember 2010

Kampungan dan Bataman

Sebagai keluarga kecil yang merantau seperti kami, kunjungan salah satu anggota keluarga besar adalah saat yang sangat dinantikan.
Kali ini, yang datang berkunjung adalah keluarga kakak ipar lengkap dengan tiga orang anak perempuannya. Meskipun akhir tahun 2009, Brein sudah pernah bertemu, tetap saja pertemuan akhir tahun 2010 menjadi sesuatu yang asing, tapi tidak untuk abang Hagi.

Abang Hagi sudah cukup besar untuk duduk bersama dan aktif menemani dan bercerita sejak mereka datang dari bandara udara.
Bagaimana dengan si adik? Banyak celotehannya yang membuat ger-geran kami semua.
Misalnya ketika bungsuku yang berumur 5.5 tahun ini ditanya oleh Bibinya,”Adik Brein, ajak ini kak Fany main. Sepertinya mainannya bagus ya…”

“Sinilah kalau mau, datang sendiri ke kamar kan bisa. Kalau nggak mau ya, nggak apa-apa kok… terserah saja.”

Kali lain Brein bertanya,’Bibi, mau ikut kami ke Singapore ya..’

‘Iya, dik..Bibi belum pernah ke Singapore, nanti ajari ya.’

‘Tapi, Bibi harus kerja seperti Bunda biar dapat uang Singapore. Uang Batam dan Uang kampung, tidak bisa dipakai.’

‘Uang Singapore itu seperti apa?’, tanya Bibinya.

‘Ya, uang Singapore lah.. mana ada di kampung uang Singapore. Bibi ini kampungan lah.. nggak tahu uang Singapore.’

‘Iya, ya… Bibi ini kampungan nggak tahu uang Singapore. Kalau Bibi kampungan, adik yang tahu uang Singapore namanya apa?’

‘Ya, orang Bataman lah…’

Grr..grr… kami semua tergelak mendengar istilah Bataman dari Brein. Ada-ada saja…

Kamis, 25 November 2010

Keseimbangan baru telah tercapai

Hari ini, genap satu quarter tanpa assisten rumah tangga. Sebagai seorang ibu bekerja hampir 11 jam dilalui di luar rumah. Rasa gamang sempat menyelimutiku ketika akan memulai semua ini. Apakah aku bisa menyeimbangkan antara kerja, tanggung jawab di rumah dan yoga?
Tapi aku punya keyakinan, semua pasti bisa dengan bantuan dan kerja sama yang baik dari anak-anakku.

Awalnya, semua masih terasa mudah, karena saat itu kami masih menjalankan ibadah puasa dan anak-anak libur sekolah. Masak hanya untuk sahur dan tidak perlu menyiapkan makan siang. Sedangkan sore hari, meskipun tidak ada perubahan jam pulang kerja, namun masih tersisa 1 jam sebelum waktu berbuka, ini sudah lebih dari cukup untuk menyiapkan hidangan berbuka. Bahkan, kami masih sempat mengunjungi pasar kaget di deretan ruko dekat rumah walaupun terkadang hanya untuk melihat ramainya kegiatan jual beli.

Minggu ketiga, ketika kegiatan sekolah dimulai lagi, dimulai juga kesibukan yang lebih karena selain menyiapkan sarapan, aku juga harus menyiapkan bekal ke sekolah dan lauk untuk makan siang di rumah. Hari Minggu menjadi hari sibuk untuk menyiapkan makanan siap masak.
Terkadang, tanpa ku minta, Brein atau Hagi membantuku memanir ikan, udang atau ayam.

Kalau boleh jujur sih, mending tidak dibantuin sama anak-anak.. he.. he.. he... Dapur jadi lebih kotor karena ceceran telur dan tepung panir. Tapi kan tidak boleh berpikir jangka pendek dong, toh, dapur kotor bisa dibersihkan bersama-sama, tapi empati tidak bisa dibangun dalam waktu semalam.

Pernah suatu hari, Brein protes karena aku tidak bisa menemaninya bermain computer. Katanya,'Sudahlah, bunda, jangan sibuk di dapur terus...ayo temani adik, kita main sama-sama'. Hm... kalau sudah begini, segera kutinggalkan semua pekerjaanku di dapur dan sibuk dengan Brein.

Dan entah sejak kapan ini dimulai, yang jelas, setiap hari Sabtu, aku dedikasikan semua waktuku untuk anak-anak. Tidak ada jadwal berkotor-kotor di dapur bahkan hanya untuk cuci piring... Manir-memanir di hari Minggu-pun sudah tidak kulakukan lagi. Ikan, udang, sotong dan ayam, hanya dicuci lalu dibungkus menjadi beberapa bungkus ukuran satu kali masak dan langsung masuk freezer. Weekday, tinggal ambil dan masak, simple dan cepat.

Yang terakhir adalah Yoga. Kegiatan yang selalu kulakukan 2x seminggu sepulang kerja ini, terhenti ketika memasuki bulan puasa dan setelah 2 minggu puasa berakhir, aku belum aktif lagi di kelas Yoga. Selain tempat latihan yang lama belum jelas kapan mulai lagi, aku masih berat meninggalkan Brein.
Akhirnya, berdasarkan diskusi kami berdua, Brein memilih untuk menemaniku Yoga. Melihat karakter Brein yang tidak bisa diam menunggu dalam waktu lama, aku takut Brein akan bosan menunggu selama lebih dari 60 menit.

Tapi sudahlah, apa salahnya dicoba. Aku bawa beberapa jenis cemilan kesukaannya untuk digunakan sebagai pembunuh waktu. Tiga kali kedatangan, semua baik-baik saja. Bahkan beberapa teman di kelas Yoga, memuji Brein karena sabar menungguku. Hanya bagaimanapun juga, Brein kurang nyaman dengan kondisi ini. Dia yang lebih suka loncat-loncat, lari sana lari sini, main scooter dari ruang depan ke dapur, main bola, akhirnya nyerah juga.
Brein tidak mau lagi menemaniku dan memilih menungguku di rumah, tapiii...yang namanya cemilan tetap harus disiapkan. Kata Brein,'Bunda, adik tunggu aja di rumah sambil makan makanan yang Bunda bawa.'

Sudah 4 minggu berlalu dan Brein merasa nyaman dengan arrangement yang disiapkan ketika aku sedang mengikuti kelas Yoga.

Pada akhirnya, hanya rasa syukur yang bisa kupanjatkan, karena semuanya berjalan lancar. Perubahan yang terjadi sudah membawa satu keseimbangan baru.
Jadi, jangan takut untuk berubah...


Sstt... tapi ini belum berlaku untuk berubah haluan dalam hal pekerjaan... xi xi xi...

Selasa, 23 November 2010

Sendi / Engsel

'Bunda...', kata Brein sambil membawa 2 buah pensil lalu disusun vertikal,'tulang kita itu seperti ini ya?'

'Iya, nak.'

'Tapi kenapa kalau kita berputar, tulangnya tidak lepas seperti 2 pensil ini?'

'Oh, itu karena ada sendinya.'

'Ha! Apa itu?,' matanya berbinar menyiratkan rasa penasaran yang tinggi.

Lalu kutunjukkan padanya engsel pintu. Tanpa engsel pintu, daun pintu tidak akan bisa dibuka dan akan tetap melekat di kusen pintu.

'Jadi, diantara tulang kita ada benda seperti ini ya?', lalu Brein tertawa...