Kamis, 25 November 2010

Keseimbangan baru telah tercapai

Hari ini, genap satu quarter tanpa assisten rumah tangga. Sebagai seorang ibu bekerja hampir 11 jam dilalui di luar rumah. Rasa gamang sempat menyelimutiku ketika akan memulai semua ini. Apakah aku bisa menyeimbangkan antara kerja, tanggung jawab di rumah dan yoga?
Tapi aku punya keyakinan, semua pasti bisa dengan bantuan dan kerja sama yang baik dari anak-anakku.

Awalnya, semua masih terasa mudah, karena saat itu kami masih menjalankan ibadah puasa dan anak-anak libur sekolah. Masak hanya untuk sahur dan tidak perlu menyiapkan makan siang. Sedangkan sore hari, meskipun tidak ada perubahan jam pulang kerja, namun masih tersisa 1 jam sebelum waktu berbuka, ini sudah lebih dari cukup untuk menyiapkan hidangan berbuka. Bahkan, kami masih sempat mengunjungi pasar kaget di deretan ruko dekat rumah walaupun terkadang hanya untuk melihat ramainya kegiatan jual beli.

Minggu ketiga, ketika kegiatan sekolah dimulai lagi, dimulai juga kesibukan yang lebih karena selain menyiapkan sarapan, aku juga harus menyiapkan bekal ke sekolah dan lauk untuk makan siang di rumah. Hari Minggu menjadi hari sibuk untuk menyiapkan makanan siap masak.
Terkadang, tanpa ku minta, Brein atau Hagi membantuku memanir ikan, udang atau ayam.

Kalau boleh jujur sih, mending tidak dibantuin sama anak-anak.. he.. he.. he... Dapur jadi lebih kotor karena ceceran telur dan tepung panir. Tapi kan tidak boleh berpikir jangka pendek dong, toh, dapur kotor bisa dibersihkan bersama-sama, tapi empati tidak bisa dibangun dalam waktu semalam.

Pernah suatu hari, Brein protes karena aku tidak bisa menemaninya bermain computer. Katanya,'Sudahlah, bunda, jangan sibuk di dapur terus...ayo temani adik, kita main sama-sama'. Hm... kalau sudah begini, segera kutinggalkan semua pekerjaanku di dapur dan sibuk dengan Brein.

Dan entah sejak kapan ini dimulai, yang jelas, setiap hari Sabtu, aku dedikasikan semua waktuku untuk anak-anak. Tidak ada jadwal berkotor-kotor di dapur bahkan hanya untuk cuci piring... Manir-memanir di hari Minggu-pun sudah tidak kulakukan lagi. Ikan, udang, sotong dan ayam, hanya dicuci lalu dibungkus menjadi beberapa bungkus ukuran satu kali masak dan langsung masuk freezer. Weekday, tinggal ambil dan masak, simple dan cepat.

Yang terakhir adalah Yoga. Kegiatan yang selalu kulakukan 2x seminggu sepulang kerja ini, terhenti ketika memasuki bulan puasa dan setelah 2 minggu puasa berakhir, aku belum aktif lagi di kelas Yoga. Selain tempat latihan yang lama belum jelas kapan mulai lagi, aku masih berat meninggalkan Brein.
Akhirnya, berdasarkan diskusi kami berdua, Brein memilih untuk menemaniku Yoga. Melihat karakter Brein yang tidak bisa diam menunggu dalam waktu lama, aku takut Brein akan bosan menunggu selama lebih dari 60 menit.

Tapi sudahlah, apa salahnya dicoba. Aku bawa beberapa jenis cemilan kesukaannya untuk digunakan sebagai pembunuh waktu. Tiga kali kedatangan, semua baik-baik saja. Bahkan beberapa teman di kelas Yoga, memuji Brein karena sabar menungguku. Hanya bagaimanapun juga, Brein kurang nyaman dengan kondisi ini. Dia yang lebih suka loncat-loncat, lari sana lari sini, main scooter dari ruang depan ke dapur, main bola, akhirnya nyerah juga.
Brein tidak mau lagi menemaniku dan memilih menungguku di rumah, tapiii...yang namanya cemilan tetap harus disiapkan. Kata Brein,'Bunda, adik tunggu aja di rumah sambil makan makanan yang Bunda bawa.'

Sudah 4 minggu berlalu dan Brein merasa nyaman dengan arrangement yang disiapkan ketika aku sedang mengikuti kelas Yoga.

Pada akhirnya, hanya rasa syukur yang bisa kupanjatkan, karena semuanya berjalan lancar. Perubahan yang terjadi sudah membawa satu keseimbangan baru.
Jadi, jangan takut untuk berubah...


Sstt... tapi ini belum berlaku untuk berubah haluan dalam hal pekerjaan... xi xi xi...

Selasa, 23 November 2010

Sendi / Engsel

'Bunda...', kata Brein sambil membawa 2 buah pensil lalu disusun vertikal,'tulang kita itu seperti ini ya?'

'Iya, nak.'

'Tapi kenapa kalau kita berputar, tulangnya tidak lepas seperti 2 pensil ini?'

'Oh, itu karena ada sendinya.'

'Ha! Apa itu?,' matanya berbinar menyiratkan rasa penasaran yang tinggi.

Lalu kutunjukkan padanya engsel pintu. Tanpa engsel pintu, daun pintu tidak akan bisa dibuka dan akan tetap melekat di kusen pintu.

'Jadi, diantara tulang kita ada benda seperti ini ya?', lalu Brein tertawa...

Kamis, 18 November 2010

Akhirnya diperbolehkan terbang...

'Halo,' terdengar suara kakak iparku di seberang sana.
'Hi, kak, ini bunda Hagi.'
'Maaf dik, ini berisik lagi di bandara, mau jemput mamak, nanti kakak telpon ya.'

Mamak yang dimaksud kakak iparku ini, adalah mertua perempuanku, atau biasa dipanggil Bibi menurut adat Karo.
Rupanya, beliau sudah diperbolehkan terbang oleh dokter yang merawatnya.

Ingatanku kembali ke beberapa bulan lalu, ketika mendapat kabar bahwa Bibi tiba-tiba tidak bisa melihat karena ada pendarahan di mata.
Salah seorang anaknya segera membawanya ke Manila untuk menjalani operasi dan perawatan pasca operasi.

Operasinya sendiri direncanakan dilakukan dalam beberapa tahap. Selain itu, Bibi dengan dibantu oleh Kak Ida, harus berusaha untuk menjaga kadar gula darahnya di kisaran normal, yaitu pada kisaran 80-120 mg/dl (pada kondisi puasa), 100-180 mg/dl (kondisi setelah makan), dan 100-140 mg/dl (pada kondisi istirahat/tidur).
Bibi memang menderita DM sejak lama. Namun, selama berdiam di Berastagi, tanah Karo, makanan tidak pernah terkontrol demikian juga dengan kadar gula darahnya. Hal inilah yang harus dibayar mahal dengan hampir hilangnya kemampuan penglihatannya.

Beberapa kombinasi makanan dicoba oleh Kak Ida dan akhirnya ditemukan pola makan, takaran dan jenis makanan yang sesuai untuk Bibi.
Selain itu, untuk beberapa minggu pasca operasi, Bibi harus tidur dalam posisi duduk. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tekanan pada bola mata.

Semangat yang tinggi untuk sembuh dan disertai dengan pengaturan makan, akhirnya Bibi dinyatakan sembuh dan boleh naik pesawat.

Namun begitu, Bibi tetap harus mengatur makan agar kejadian yang sama tidak terulang lagi.