Minggu, 06 Februari 2011

Seni Berbagi

Suatu siang, dalam suatu perjalanan berangkat sekolah, abang Hagi bercerita kalau dia sudah mendermakan uang sepuluh ribu kepada orang yang datang meminta sumbangan ke rumah kami.
Seingatku waktu itu, Hagi tidak punya uang kecuali selembar lima puluh ribuan yang didapat dari ayahnya beberapa minggu sebelumnya.

‘Kok, abang punya uang? Dari mana?’
‘Kan abang pernah dikasih uang oleh ayah’
‘Iya, tapi kan lima puluh ribuan, kok bisa punya sepuluh ribuan’

Dengan berbelit-belit abang Hagi menjawab cecaran pertanyaan dari bundanya. Akhirnya keluarlah pengakuan,’Sebenarnya yang abang kasih tuh uang lima puluh ribuan, cuma abang takut Bunda marah.’

‘Abang, Bunda senang abang Hagi mau berbagi. Tapi Bunda lebih senang abang memberikan kepada yang membutuhkan secara langsung.’
‘Oh, seperti Bunda beli susu bubuk untuk cucunya ibu tukang cuci di rumah kita itu ya.’
‘Iya, nak, seperti itu. Lain kali jangan diulang ya..’

Dan ketika pada kesempatan lain, saat ibu tukang cuci datang malam-malam menemuiku dan ingin meminjam uang karena ingin memberi uang saku kepada keponakannya yang akan pulang kampung. Abang Hagi bertanya:
‘Ibu itu kenapa Bunda? Tadi pagi dia tanya jam berapa Bunda pulang dari Singapore.’

‘Oh, ibu itu mau pinjam uang untuk keponakannya.’

‘Kasih ajalah Bunda, tidak usah pakai pinjam segala.’

‘Abang, ibu itu mau meminjam karena ingin memberi sesuatu untuk saudaranya, lagipun kita tidak tahu pasti apakah keponakannya perlu dibantu atau tidak.’